Raden Ajeng Kartini (1879–1904) adalah tokoh perintis emansipasi wanita Indonesia yang dikenal karena perjuangannya untuk pendidikan dan kesetaraan gender. Namun, banyak aspek sejarahnya yang tidak atau jarang dibahas dalam buku-buku pelajaran dan sejarah Indonesia standar. Laporan ini menguraikan fakta-fakta kurang dikenal tentang kehidupan, inisiatif pendidikan, kolaborasi pasca-kematian, dan karakter pribadinya, berdasarkan sumber-sumber terpercaya.
1. Inisiatif Pendidikan Awal Kartini
Sebelum sekolah-sekolah resmi bernama Kartini didirikan, Kartini telah memulai upaya pendidikan untuk wanita pribumi. Ia mengajar keterampilan seperti:
- Membaca Al-Quran
- Menulis aksara Jawa
- Membatik
- Menenun
- Bernyanyi
Kursus-kursus ini menunjukkan bahwa Kartini tidak hanya seorang pemikir, tetapi juga praktisi yang aktif memberdayakan wanita melalui pendidikan praktis dan literasi. Inisiatif ini terjadi sebelum kematiannya pada 1904, menandakan komitmen awalnya terhadap pendidikan wanita (Jurnal Herodotus).
2. Pendirian Sekolah Kartini di Jepara
Pada tahun 1903, Kartini mendirikan sekolah pertama di Jepara bersama adiknya, Rukmini. Sekolah ini awalnya hanya memiliki 9 siswa dan fokus pada:
- Membaca dan menulis
- Menjahit
- Pendidikan moral
Sekolah ini tidak mengikuti kurikulum pemerintah, mencerminkan visi Kartini untuk pendidikan yang berorientasi pada pemberdayaan wanita. Kartini juga mendirikan perpustakaan untuk wanita guna meningkatkan akses terhadap pengetahuan. Namun, setelah pernikahannya, sekolah ini menghadapi masalah keuangan dan akhirnya bubar. Meski demikian, inisiatif ini menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Kartini yang didirikan kemudian (OERBAN).
Kartini juga membuka sekolah lain di Rembang, dengan penekanan pada pendidikan agama sebagai dasar pengetahuan lainnya. Upaya ini menunjukkan pendekatan holistiknya terhadap pendidikan.
3. Kolaborasi dengan Humanis Belanda
Setelah kematian Kartini pada 1904, ide-idenya diwujudkan oleh humanis Belanda yang terinspirasi oleh surat-suratnya. Surat-surat tersebut diterbitkan pada 1911 dalam buku Door Duisternis Tot Licht (diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang), yang menarik simpati luas di Belanda. Berikut adalah perkembangan utama:
- Komite Sementara (1911): Dibentuk untuk mengumpulkan dana guna mendirikan sekolah wanita di Jawa, dipimpin oleh Baronesse van Hogendorps Jacob dengan anggota seperti JH Abendanon.
- Vereeniging Kartinifonds (1913): Menggantikan Komite Sementara, organisasi ini bertugas mengumpulkan dana dan mensubsidi sekolah-sekolah wanita di Indonesia.
- Yayasan Kartini (1913): Didirikan untuk mengelola pendirian sekolah-sekolah Kartini. Hingga 1916, tujuh sekolah didirikan di lokasi berikut:
| Kota | Tahun Pendirian | Jenis Sekolah |
| Semarang | 1913 | Asrama |
| Batavia | 1914 | Reguler |
| Bogor | 1914 | Asrama |
| Madiun | 1914 | Reguler |
| Malang | 1915 | Reguler |
| Cirebon | 1916 | Reguler |
| Pekalongan | 1916 | Reguler |
Sekolah-sekolah ini menawarkan kurikulum yang mirip dengan sekolah dasar (HIS), ditambah keterampilan rumah tangga seperti menjahit, memasak, menyulam, menyetrika, pengetahuan kesehatan, dan berkebun. Biaya sekolah rata-rata f. 2 per bulan, sehingga sebagian besar siswa berasal dari kelas menengah. Namun, Sekolah Kartini Semarang menawarkan kursus keterampilan gratis untuk gadis desa berusia 12-15 tahun (Historia).
Pendanaan berasal dari royalti penjualan buku Door Duisternis Tot Licht (f. 5,809.75 di Belanda pada 1913, f. 903.55 di AS pada 1920), sumbangan pribadi, dan subsidi pemerintah. Meski mendapat dukungan, sekolah-sekolah ini menghadapi tantangan seperti keterlambatan konstruksi dan kurangnya minat kontraktor.
4. Tantangan dan Keberlanjutan Sekolah Kartini
Sekolah Kartini di Jepara yang didirikan Kartini sendiri bubar setelah pernikahannya karena masalah keuangan. Namun, pasca-1904, dana dikumpulkan untuk membangun kembali sekolah-sekolah serupa. Pada 1920-1928, setelah subsidi pemerintah ditarik, pemuda pribumi berperan besar dalam mempertahankan sekolah-sekolah ini. Misalnya, Sekolah Kartini Semarang memiliki 105 siswa pada 1915 dan meningkat menjadi 241 siswa pada 1928, menunjukkan komitmen masyarakat terhadap visi Kartini (Jurnal Herodotus).
5. Karakter dan Kehidupan Pribadi Kartini
Kartini memiliki sifat-sifat yang kurang ditekankan dalam narasi sejarah populer:
- Mandiri: Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang berani dan mengajarkan wanita Indonesia untuk mandiri.
- Sederhana dan Rendah Hati: Meskipun bangsawan, Kartini mudah bergaul dan mendirikan kerajinan kayu sebagai mata pencaharian di Jawa, mendukung pemberdayaan ekonomi lokal.
- Berwawasan Luas: Belajar secara otodidak melalui buku, surat kabar, dan korespondensi dengan teman-temannya di Belanda, yang membentuk visinya untuk mendirikan sekolah wanita.
- Mahir Berbahasa Asing: Menguasai bahasa Belanda sejak kecil, yang memungkinkannya mengakses ide-ide progresif Eropa.
- Patuh pada Orang Tua: Meskipun memiliki pandangan modern, ia menghormati keputusan orang tuanya, termasuk pernikahan yang diatur, menunjukkan keseimbangan antara idealisme dan norma sosial.
Sifat-sifat ini menunjukkan kompleksitas karakternya, yang tidak selalu disorot dalam buku-buku pelajaran (Orami).
6. Konsep Pendidikan Kartini
Kartini memandang pendidikan sebagai alat untuk memajukan masyarakat menuju modernitas. Ia percaya bahwa:
- Pendidikan adalah langkah menuju peradaban yang maju, dengan laki-laki dan perempuan bekerja sama.
- Kesetaraan pendidikan adalah bentuk kebebasan bagi wanita, yang pada masanya hanya diharapkan menjadi ibu rumah tangga.
Konsep ini, meskipun progresif, kadang hanya disebut secara umum dalam buku pelajaran tanpa menyoroti detail implementasinya, seperti pendirian perpustakaan atau penekanan pada pendidikan moral dan agama (OERBAN).
Kesimpulan
Sejarah Kartini yang kurang dikenal mencakup inisiatif pendidikan awalnya, pendirian sekolah di Jepara, kolaborasi dengan humanis Belanda untuk mendirikan jaringan sekolah Kartini, tantangan keberlanjutan sekolah tersebut, serta sifat pribadi yang menunjukkan kemandirian dan kerendahan hati. Fakta-fakta ini memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang warisan Kartini, yang tidak hanya terbatas pada surat-suratnya, tetapi juga pada langkah-langkah konkret dan dampak jangka panjangnya. Informasi ini melengkapi narasi standar dalam buku pelajaran, menyoroti aspek-aspek yang sering diabaikan.
Daftar Referensi

