Cicak, atau dalam istilah Arab dikenal sebagai wazagh, menjadi salah satu hewan yang mendapat perhatian khusus dalam ajaran Islam. Berbeda dengan hewan melata lain yang cenderung netral dalam hukum syariat, cicak justru secara eksplisit dianjurkan untuk dibunuh, bahkan terdapat pahala khusus yang dijanjikan bagi siapa saja yang melakukannya. Anjuran ini tidak lepas dari narasi sejarah yang berkembang dalam tradisi Islam, terutama terkait peristiwa Nabi Ibrahim AS dan penilaian terhadap potensi mudarat yang dibawa oleh cicak. Laporan ini akan membahas secara komprehensif sejarah cicak dalam Islam, dasar-dasar hadis yang melatarbelakangi anjuran membunuh cicak, penafsiran para ulama, relevansi sosial dan medis, serta diskursus kontemporer mengenai relevansi anjuran tersebut di era modern. Dengan mengacu pada sumber-sumber primer dan sekunder, baik dari kitab hadis, tafsir, maupun kajian ilmiah, laporan ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam dan kritis mengenai posisi cicak dalam sejarah dan hukum Islam.
Sejarah dan Narasi Cicak dalam Tradisi Islam
Asal-Usul Narasi Cicak dalam Kisah Nabi Ibrahim AS
Salah satu narasi paling terkenal yang mengaitkan cicak dengan sejarah Islam adalah kisah Nabi Ibrahim AS ketika beliau dilemparkan ke dalam kobaran api oleh Raja Namrud. Dalam tradisi hadis, disebutkan bahwa saat peristiwa tersebut terjadi, seluruh binatang berusaha membantu memadamkan api demi menyelamatkan Nabi Ibrahim AS, kecuali cicak yang justru meniup api agar semakin membesar. Kisah ini diriwayatkan dalam berbagai sumber hadis, di antaranya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, serta diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang bersumber dari Aisyah RA dan Ummu Syarik RA[1][2][3][4].
Riwayat dari Ummu Syarik RA dalam Shahih Bukhari menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh cicak, karena hewan ini meniup api yang membakar Nabi Ibrahim AS[1][4]. Dalam riwayat lain, Aisyah RA menjelaskan bahwa di rumahnya terdapat tombak yang digunakan khusus untuk membunuh cicak, sebagai bentuk pelaksanaan perintah Rasulullah SAW terkait peristiwa tersebut[2][3]. Narasi ini menjadi fondasi utama mengapa cicak dipandang sebagai hewan yang tidak hanya sekadar mengganggu, tetapi juga memiliki sejarah permusuhan terhadap para nabi dan dakwah Islam[5].
Peran Cicak dalam Peristiwa Lain: Kebakaran Baitul Maqdis
Selain kisah Nabi Ibrahim AS, terdapat pula riwayat yang mengaitkan cicak dengan peristiwa kebakaran di Baitul Maqdis. Dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi, disebutkan bahwa cicak meniup api agar kobaran semakin besar ketika Baitul Maqdis terbakar, sedangkan kelelawar berusaha memadamkannya dengan sayapnya[2]. Riwayat ini memperkuat citra cicak sebagai hewan yang secara aktif berperan dalam memperbesar kerusakan dan musibah yang menimpa tempat-tempat suci dan para nabi.
Penilaian Terhadap Cicak dalam Tradisi Islam
Berdasarkan narasi-narasi di atas, cicak kemudian dikategorikan sebagai fuwaisiqah atau “penjahat kecil” dalam sejumlah hadis. Istilah ini merujuk pada makhluk yang dianggap membawa mudarat dan kerusakan, baik secara fisik maupun simbolik[6][7][8][9]. Dalam konteks sejarah Islam, cicak bahkan dianggap sebagai hewan yang bermusuhan terhadap dakwah Islam, karena peran aktifnya dalam peristiwa-peristiwa penting yang menimpa para nabi dan tempat suci[5].
Dalil Hadis tentang Anjuran Membunuh Cicak
Hadis-Hadis Shahih tentang Membunuh Cicak
Anjuran membunuh cicak dalam Islam didasarkan pada sejumlah hadis shahih yang diriwayatkan oleh para sahabat, di antaranya Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Ummu Syarik, dan Aisyah RA. Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk membunuh cicak dan menamainya fuwaisiqah, hewan kecil yang jahat[10][6][7][8][11][12]. Hadis ini menjadi dasar hukum utama dalam penetapan status cicak sebagai hewan yang disunnahkan untuk dibunuh.
Selain itu, terdapat hadis yang menyebutkan keutamaan membunuh cicak, yakni barang siapa membunuh cicak dengan sekali pukulan, maka akan dicatat baginya seratus kebaikan. Jika membunuhnya dengan dua kali pukulan, pahalanya lebih sedikit, dan jika dengan tiga kali pukulan, pahalanya semakin berkurang[10][6][7][8][13][14][15][11][12]. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dan tercatat dalam berbagai kitab hadis utama.
Penjelasan Istilah dan Konteks Hadis
Dalam hadis-hadis tersebut, cicak disebut dengan istilah wazagh atau al-wazagh, yang dalam bahasa Arab merujuk pada jenis kadal kecil yang sering ditemukan di rumah-rumah dan dinding-dinding. Istilah fuwaisiqah sendiri berasal dari kata fisq, yang berarti keluar dari batas atau menyimpang, dan dalam konteks ini merujuk pada hewan yang menyimpang dari tabiat kebanyakan hewan lain karena sifatnya yang merugikan dan berbahaya[9][16].
Penafsiran ulama, seperti yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi, menyatakan bahwa cicak termasuk dalam kategori al-hasyaratul mu’dzi atau hewan yang dapat menyakiti dan membawa mudarat, sehingga anjuran membunuhnya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan pencegahan bahaya[8][9].
Perbandingan dengan Hewan Lain dalam Hadis
Dalam sejumlah hadis, cicak juga dikelompokkan bersama hewan-hewan lain yang diperintahkan untuk dibunuh karena sifatnya yang membahayakan, seperti ular, kalajengking, tikus, burung gagak, dan anjing ganas. Kelompok hewan ini dikenal dengan istilah al-fawasiq al-khams (lima hewan perusak), yang boleh dibunuh bahkan di wilayah haram seperti Mekah dan Madinah[17][9]. Namun, cicak memiliki keunikan tersendiri karena tidak hanya didasarkan pada sifat membahayakan secara fisik, tetapi juga pada narasi sejarah dan simbolisme permusuhan terhadap para nabi.
Penafsiran Ulama dan Hukum Fikih tentang Cicak
Kesepakatan Ulama Empat Madzhab
Para ulama dari empat madzhab fikih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa cicak adalah hewan yang diperintahkan untuk dibunuh dan haram untuk dikonsumsi[3]. Konsensus ini didasarkan pada hadis-hadis shahih yang telah disebutkan sebelumnya, serta pada prinsip umum bahwa hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tidak boleh dimakan. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menegaskan bahwa hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, seperti cicak, hukumnya haram dimakan karena dianggap najis dan membawa mudarat[3].
Status Hukum Membunuh Cicak: Sunnah atau Wajib?
Mayoritas ulama menetapkan bahwa hukum membunuh cicak adalah sunnah, artinya dianjurkan namun tidak wajib. Hal ini didasarkan pada redaksi hadis yang menggunakan kata perintah (amr) namun tidak disertai dengan ancaman atau sanksi bagi yang tidak melakukannya[8][14][15][5][12]. Namun, dalam kondisi tertentu di mana cicak menimbulkan bahaya nyata, seperti menyebarkan penyakit atau mengotori tempat ibadah, maka hukum membunuhnya bisa naik menjadi wajib demi menjaga kemaslahatan umum[5][12].
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa pahala membunuh cicak akan semakin besar jika dilakukan dengan niat yang ikhlas dan cara yang efektif, yakni membunuhnya dengan sekali pukulan. Semakin banyak pukulan yang diperlukan, maka pahalanya semakin berkurang, karena dianggap kurang efektif dan berpotensi menyakiti hewan tanpa keperluan[11].
Perbedaan Penafsiran dan Relevansi Hadis
Sebagian ulama kontemporer menyoroti perlunya memahami konteks hadis secara historis dan sosiologis. Badruddin Al-Aini dalam Umdatul Qari, misalnya, menyatakan bahwa alasan utama anjuran membunuh cicak pada masa Rasulullah SAW adalah karena hewan ini dianggap membawa penyakit kusta dan menimbulkan gangguan kesehatan di lingkungan masyarakat Arab saat itu[14]. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa anjuran tersebut bersifat kontekstual dan dapat dievaluasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman dan pengetahuan medis.
Relevansi Sosial, Medis, dan Ekologis Cicak dalam Islam
Pandangan Medis tentang Cicak sebagai Pembawa Penyakit
Salah satu alasan rasional yang sering dikemukakan dalam anjuran membunuh cicak adalah potensi cicak sebagai pembawa penyakit. Dalam tradisi masyarakat, cicak dikenal sebagai hewan yang sering membuang kotoran secara sembarangan, termasuk di tempat-tempat makanan dan ibadah, sehingga dapat menjadi sumber penularan penyakit[10][6][12]. Penelitian medis modern juga menunjukkan bahwa kotoran cicak dapat mengandung bakteri Salmonella dan patogen lain yang berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama jika mencemari makanan atau peralatan dapur.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua spesies cicak membawa risiko kesehatan yang sama. Sebagian besar cicak rumah (Hemidactylus frenatus) cenderung tidak agresif dan hanya menjadi masalah jika populasinya tidak terkendali atau jika terdapat sanitasi yang buruk di lingkungan rumah[12]. Oleh karena itu, pendekatan yang proporsional dan berbasis ilmu pengetahuan sangat dianjurkan dalam menyikapi keberadaan cicak di lingkungan manusia.
Peran Ekologis Cicak dalam Lingkungan
Dari perspektif ekologi, cicak sebenarnya memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Cicak adalah predator alami serangga, seperti nyamuk, lalat, dan kecoa, yang juga dapat menjadi vektor penyakit bagi manusia. Dengan memangsa serangga-serangga tersebut, cicak membantu mengendalikan populasi hama dan menjaga kebersihan lingkungan rumah[12]. Oleh karena itu, tindakan membunuh cicak secara massal tanpa pertimbangan ekologis dapat berdampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem lokal.
Diskursus Kontemporer: Masih Relevankah Anjuran Membunuh Cicak?
Di era modern, muncul diskursus baru mengenai relevansi anjuran membunuh cicak. Sebagian ulama dan cendekiawan muslim menekankan pentingnya memahami konteks sosial dan ilmiah di balik anjuran tersebut. Mereka berpendapat bahwa anjuran membunuh cicak pada masa Rasulullah SAW didasarkan pada kondisi kesehatan masyarakat dan lingkungan saat itu, di mana cicak dianggap sebagai ancaman nyata bagi kesehatan dan kebersihan[15][5][12].
Namun, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatnya kesadaran akan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati, sebagian kalangan menilai bahwa anjuran tersebut perlu dievaluasi ulang. Mereka mengusulkan pendekatan yang lebih bijak dan proporsional, yakni membasmi cicak hanya jika benar-benar menimbulkan gangguan atau bahaya, dan tetap menjaga keseimbangan ekosistem.
Buya Yahya, salah satu ulama kontemporer Indonesia, menegaskan bahwa cicak adalah hewan yang tidak mukallaf (tidak dibebani kewajiban syariat), sehingga tidak pantas dijuluki sebagai pengkhianat atau pembawa sihir seperti manusia. Anjuran membunuh cicak lebih didasarkan pada pertimbangan kebersihan dan kesehatan, bukan pada aspek moralitas hewan itu sendiri[2].
Analisis Hadis dan Kajian Ilmiah tentang Cicak
Studi Kritik Hadis tentang Keutamaan Membunuh Cicak
Kajian hadis menunjukkan bahwa perintah membunuh cicak memiliki dasar yang kuat dalam tradisi Islam, baik dari segi sanad maupun matan. Hadis-hadis tentang keutamaan membunuh cicak diriwayatkan oleh perawi-perawi terpercaya dan tercantum dalam kitab-kitab hadis utama seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, dan Ibnu Majah[13][11]. Namun, terdapat variasi dalam redaksi hadis, terutama terkait jumlah pahala yang dijanjikan (seratus atau tujuh puluh kebaikan), serta perbedaan dalam istilah yang digunakan (fi awwali dharbatin atau bi dharbati al-ula). Meski demikian, perbedaan ini tidak mempengaruhi makna substantif hadis, yakni adanya keutamaan membunuh cicak dengan cara yang efektif dan tidak menyiksa[13].
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa perbedaan jumlah pahala tersebut bersifat simbolik dan bergantung pada niat serta kesempurnaan pelaksanaan. Semakin ikhlas dan efektif seseorang dalam membunuh cicak, semakin besar pahala yang diperoleh[11].
Kajian Tafsir dan Fikih tentang Hukum Membunuh Cicak
Dalam kajian tafsir dan fikih, para ulama sepakat bahwa cicak adalah hewan yang diperintahkan untuk dibunuh karena termasuk dalam kategori al-hasyaratul mu’dzi (hewan yang menyakiti) dan fuwaisiqah (penjahat kecil)[8][9]. Imam An-Nawawi dan para ulama lain menegaskan bahwa hukum membunuh cicak adalah sunnah, kecuali dalam kondisi tertentu di mana cicak menimbulkan bahaya nyata, maka hukumnya bisa menjadi wajib[8][3].
Namun, sebagian ulama kontemporer menyoroti perlunya memahami konteks historis dan sosiologis di balik anjuran tersebut. Mereka berpendapat bahwa anjuran membunuh cicak pada masa Rasulullah SAW didasarkan pada kondisi kesehatan dan lingkungan masyarakat Arab saat itu, sehingga perlu dievaluasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman dan pengetahuan medis[14][15].
Perbandingan dengan Hewan Lain dalam Hukum Islam
Cicak sering dibandingkan dengan hewan-hewan lain yang diperintahkan untuk dibunuh dalam Islam, seperti ular, kalajengking, tikus, burung gagak, dan anjing ganas. Hewan-hewan ini dikenal sebagai al-fawasiq al-khams dan boleh dibunuh bahkan di wilayah haram seperti Mekah dan Madinah[17][9]. Namun, cicak memiliki keunikan tersendiri karena alasan anjuran membunuhnya tidak hanya didasarkan pada sifat membahayakan secara fisik, tetapi juga pada narasi sejarah dan simbolisme permusuhan terhadap para nabi[5].
Dalam konteks hukum fikih, para ulama menegaskan bahwa membunuh hewan-hewan tersebut harus dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyiksa, sesuai dengan prinsip ihsan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT telah menetapkan ihsan pada setiap perkara. Sekiranya kamu membunuh maka perelokkanlah bunuhan tersebut…” (HR Muslim)[17].
Diskursus Kontemporer dan Relevansi Anjuran Membunuh Cicak
Tantangan dan Isu Etika di Era Modern
Di era modern, muncul tantangan baru terkait relevansi anjuran membunuh cicak. Sebagian kalangan menilai bahwa anjuran tersebut perlu dievaluasi ulang mengingat peran ekologis cicak sebagai predator alami serangga dan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati. Selain itu, pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan manusia untuk mengendalikan populasi cicak tanpa harus membunuh secara massal, misalnya dengan menjaga kebersihan lingkungan dan memperbaiki sanitasi rumah[12].
Isu etika juga menjadi perhatian, terutama terkait perlakuan terhadap hewan dalam Islam. Prinsip ihsan atau berbuat baik kepada semua makhluk, termasuk hewan, menjadi landasan penting dalam menentukan sikap terhadap cicak. Oleh karena itu, tindakan membunuh cicak harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak menyiksa, dan hanya jika benar-benar diperlukan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan[17].
Pendekatan Proporsional dan Kontekstual dalam Menyikapi Cicak
Sebagian ulama dan cendekiawan muslim mengusulkan pendekatan proporsional dan kontekstual dalam menyikapi cicak. Mereka berpendapat bahwa anjuran membunuh cicak pada masa Rasulullah SAW didasarkan pada kondisi kesehatan dan lingkungan masyarakat saat itu, sehingga perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan pengetahuan medis. Pendekatan ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan dengan pelestarian keanekaragaman hayati dan perlakuan yang baik terhadap hewan[15][2][12].
Buya Yahya, salah satu ulama kontemporer Indonesia, menegaskan bahwa cicak adalah hewan yang tidak mukallaf (tidak dibebani kewajiban syariat), sehingga tidak pantas dijuluki sebagai pengkhianat atau pembawa sihir seperti manusia. Anjuran membunuh cicak lebih didasarkan pada pertimbangan kebersihan dan kesehatan, bukan pada aspek moralitas hewan itu sendiri[2].
Peran Pendidikan dan Sosialisasi dalam Menyikapi Cicak
Pendidikan dan sosialisasi menjadi kunci dalam membentuk sikap masyarakat terhadap cicak. Pemahaman yang benar tentang dasar-dasar hadis, penafsiran ulama, dan pengetahuan ilmiah tentang peran cicak dalam ekosistem sangat penting untuk menghindari tindakan yang berlebihan atau tidak proporsional. Masyarakat perlu diajarkan untuk menjaga kebersihan lingkungan, mengendalikan populasi cicak dengan cara yang baik, dan menghormati prinsip-prinsip ihsan dalam perlakuan terhadap hewan[17][15][12].
Kesimpulan
Kajian tentang cicak dan sejarahnya dalam Islam menunjukkan bahwa anjuran membunuh cicak memiliki dasar yang kuat dalam tradisi hadis dan penafsiran ulama. Narasi sejarah yang mengaitkan cicak dengan peristiwa Nabi Ibrahim AS dan kebakaran Baitul Maqdis menjadi fondasi utama dalam penetapan status cicak sebagai hewan yang disunnahkan untuk dibunuh. Hadis-hadis shahih menyebutkan keutamaan membunuh cicak, terutama jika dilakukan dengan cara yang efektif dan tidak menyiksa.
Para ulama sepakat bahwa hukum membunuh cicak adalah sunnah, kecuali dalam kondisi tertentu di mana cicak menimbulkan bahaya nyata, maka hukumnya bisa menjadi wajib. Namun, diskursus kontemporer menyoroti perlunya memahami konteks historis dan sosiologis di balik anjuran tersebut, serta mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyikapi keberadaan cicak di lingkungan manusia.
Pendekatan proporsional dan kontekstual sangat dianjurkan dalam menyikapi cicak, yakni membasmi cicak hanya jika benar-benar menimbulkan gangguan atau bahaya, dan tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Pendidikan dan sosialisasi menjadi kunci dalam membentuk sikap masyarakat yang bijak dan bertanggung jawab terhadap cicak dan hewan-hewan lain dalam lingkungan hidup.
Dengan demikian, pemahaman yang mendalam dan kritis tentang cicak dalam sejarah dan hukum Islam dapat membantu umat Islam untuk bersikap bijak, proporsional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengedepankan kemaslahatan, kebersihan, dan perlakuan yang baik terhadap semua makhluk ciptaan Allah SWT.
Daftar Referensi
- https://sunnah.com/bukhari:3359
- https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7773279/asal-mula-anjuran-membunuh-cicak-ternyata-berawal-dari-kebakaran-di-baitul-maqdis
- https://www.kompasiana.com/arifabdulwahid/67aa3aa5c925c475742b76a2/cicak-dalam-pandangan-islam
- https://hamariweb.com/islam/hadith/sahih-bukhari-3359/
- https://belitong.pikiran-rakyat.com/sejarah/pr-3697833329/sikap-terhadap-cicak-dalam-islam-sunnah-membunuh-dan-pahala-yang-didapatkan
- https://www.antaranews.com/berita/4742197/kenapa-cicak-disunnahkan-untuk-dibunuh-ini-penjelasan-menurut-islam
- https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6497362/benarkah-membunuh-cicak-setara-dengan-100-kebaikan
- https://katadata.co.id/lifestyle/varia/648c1370e4ffd/hukum-membunuh-cicak-menurut-islam-dan-alasannya
- https://islamqa.info/en/answers/289055/why-should-we-kill-lizards-in-islam
- https://www.detik.com/jogja/berita/d-7488124/kenapa-cicak-harus-dibunuh-menurut-islam-ini-kisahnya
- https://rumaysho.com/13360-pahala-membunuh-cicak.html
- https://www.merdeka.com/trending/kenapa-cicak-disunnahkan-untuk-dibunuh-ini-alasannya-dalam-islam-8808-mvk.html
- https://media.neliti.com/media/publications/323947-kontekstualisasi-pemahaman-hadis-tentang-cbcd7dd7.pdf
- https://nu.or.id/ilmu-hadits/kajian-hadits-soal-kesunahan-membunuh-cicak-lEmIC
- https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6849360/kesunnahan-membunuh-cicak-dalam-islam-masih-relevankah
- https://islamqa.info/en/answers/258988/are-salamanders-and-other-kinds-of-lizards-included-in-the-hadith-about-killing-the-wazagh-a-type-of-lizard
- https://www.muftiwp.gov.my/artikel/irsyad-fatwa/irsyad-fatwa-umum/977-irsyad-al-fatwa-ke-180-hukum-membunuh-tikus-dengan-menggunakan-jerat

