Harga Perkiraan Sendiri (HPS) merupakan elemen penting dalam pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia, yang diatur secara spesifik dalam kerangka hukum seperti Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Berikut adalah penjelasan rinci berdasarkan analisis berbagai sumber, termasuk situs resmi dan artikel terkait, yang memberikan gambaran mendalam tentang definisi, penyusunan, dan penerapan HPS dalam praktik.
Definisi dan Landasan Hukum
HPS didefinisikan sebagai perkiraan harga barang atau jasa yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang dihitung berdasarkan keahlian dan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Membedah Harga Perkiraan Sendiri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, HPS merupakan hasil kalkulasi yang mencakup volume pekerjaan dikalikan harga satuan, ditambah beban pajak dan keuntungan. Nilai total HPS bersifat terbuka dan tidak dirahasiakan, meskipun rincian per item kegiatan atau pekerjaan dapat dirahasiakan untuk menjaga integritas proses.
Landasan hukumnya, seperti disebutkan dalam Harga Perkiraan Sendiri (Pasal 26 Perpres Nomor 12 Tahun 2021), adalah Perpres No. 12 Tahun 2021, yang mengubah Perpres No. 16 Tahun 2018, menegaskan bahwa HPS harus disusun dengan cermat untuk memastikan efisiensi anggaran dan mencegah potensi penyalahgunaan.
Proses Penyusunan HPS
Penyusunan HPS dilakukan oleh PPK dan harus selesai / ditetapkan paling lambat 28 hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran, seperti dijelaskan dalam Cara Menghitung HPS beserta Contohnya dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Proses ini melibatkan pengumpulan data dari berbagai sumber, yang mencakup:
Sumber Data | Penjelasan |
---|---|
Harga pasar setempat | Harga barang/jasa di lokasi produksi/penyerahan, mendekati waktu pengadaan. |
Informasi biaya satuan resmi | Dari Badan Pusat Statistik (BPS) atau asosiasi terkait. |
Biaya kontrak sebelumnya | Mengacu pada kontrak sebelumnya dengan mempertimbangkan perubahan biaya. |
Inflasi dan suku bunga | Menggunakan data inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan, atau kurs BI. |
Perbandingan kontrak sejenis | Dari instansi lain atau pihak ketiga. |
Estimasi konsultan perencana | Input teknis dari konsultan, jika relevan. |
Norma rentang harga | Dari instansi teknis atau pemerintah daerah. |
Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan | Data tambahan yang valid dan terverifikasi. |
Tabel di atas menunjukkan bahwa penyusunan HPS bukan sekadar perkiraan, melainkan proses teknis yang memerlukan data yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan, seperti dijelaskan dalam Langkah Penyusunan dan Fungsi HPS dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Perhitungan dan Fungsi HPS
Perhitungan HPS dilakukan dengan rumus dasar:
- Total HPS = (Volume Pekerjaan × Harga Satuan) + Beban Pajak + Keuntungan.
Sebagai contoh, jika volume pekerjaan adalah 100 unit dengan harga satuan Rp10.000, ditambah pajak 10% dan keuntungan 5%, maka HPS total bisa dihitung sebagai Rp1.150.000 (100 × 10.000 + 10% + 5%).
Fungsi HPS dalam pengadaan meliputi:
- Menilai kewajaran penawaran: Menurut Memahami HPS Adalah Kunci Sukses Pengadaan Barang dan Jasa, HPS menjadi acuan untuk memastikan penawaran dari penyedia tidak melampaui batas yang wajar.
- Dasar negosiasi harga: Dalam pengadaan langsung atau penunjukan langsung, HPS digunakan untuk negosiasi, seperti dijelaskan dalam Pengadaan Barang dan Jasa – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Menentukan jaminan: Besar jaminan penawaran biasanya 1-3% dari HPS, dan jika penawaran di bawah 80% HPS, jaminan pelaksanaan dapat ditingkatkan, seperti contoh dalam sumber yang sama.
Risiko dan Tantangan
Penetapan HPS yang tidak tepat dapat menimbulkan risiko signifikan. Jika HPS terlalu rendah, seperti dijelaskan dalam Teknik & Metoda Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), lelang dapat gagal karena penyedia tidak berminat atau semua penawaran melebihi HPS, yang berarti tidak ada keuntungan yang memadai. Sebaliknya, jika HPS terlalu tinggi, ada risiko kerugian negara, dugaan mark-up harga, dan potensi kolusi, yang dapat memicu evaluasi tambahan jika penawaran di bawah 80% HPS, seperti disebutkan dalam Membedah Harga Perkiraan Sendiri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Penerapan dalam Praktik
Dalam realita, HPS menjadi alat untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, seperti dijelaskan dalam Cara Menghitung HPS beserta Contohnya dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Contohnya, jika HPS ditetapkan Rp1 miliar untuk proyek konstruksi, dan penyedia menawarkan Rp700 juta (70% dari HPS), maka perlu evaluasi tambahan untuk memastikan kelayakan, termasuk jaminan pelaksanaan yang lebih besar. Hal ini menunjukkan pentingnya HPS dalam mencegah penyalahgunaan anggaran dan memastikan efisiensi.
Kesimpulan
HPS adalah komponen vital dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, yang tidak hanya berfungsi sebagai perkiraan harga tetapi juga alat untuk menjaga integritas proses. Penyusunannya memerlukan data yang komprehensif dan keahlian teknis, dengan risiko yang perlu diperhatikan untuk mencegah gagal lelang atau kerugian negara. Berdasarkan analisis sumber-sumber seperti Membedah Harga Perkiraan Sendiri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Cara Menghitung HPS beserta Contohnya dalam Pengadaan Barang dan Jasa, HPS memainkan peran strategis dalam menjamin efisiensi anggaran dan kompetisi yang sehat.
Key Citations
- Membedah Harga Perkiraan Sendiri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
- Harga Perkiraan Sendiri (Pasal 26 Perpres Nomor 12 Tahun 2021)
- Cara Menghitung HPS beserta Contohnya dalam Pengadaan Barang dan Jasa
- Langkah Penyusunan dan Fungsi HPS dalam Pengadaan Barang/Jasa
- Memahami HPS Adalah Kunci Sukses Pengadaan Barang dan Jasa
- Pengadaan Barang dan Jasa – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
- Teknik & Metoda Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)