Dalam sejarah panjang peradaban Tiongkok, konsep makhluk supernatural seperti siluman telah menjadi bagian integral dari budaya, sastra, dan kepercayaan tradisional. Siluman tidak hanya sekadar kisah untuk menakut-nakuti anak-anak, tetapi juga mencerminkan filosofi, nilai moral, dan pandangan dunia masyarakat Tiongkok kuno. Laporan ini mengeksplorasi asal-usul, perkembangan, dan berbagai jenis siluman dalam mitologi Tiongkok, serta bagaimana makhluk-makhluk ini memengaruhi budaya dan sastra sepanjang sejarah Tiongkok.
Konsep Siluman dan Yaoguai dalam Budaya Tiongkok
Dalam mitologi Tiongkok, istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan makhluk supernatural adalah “Yaoguai” (妖怪). Yaoguai merepresentasikan kelas makhluk yang luas dan beragam yang didefinisikan oleh kepemilikan kekuatan supernatural dan memiliki atribut aneh, ganjil, atau tidak alami. Mereka sangat terkait dengan transformasi dan sihir[1].
Kata “yao” (妖) umumnya digunakan terkait dengan hal supernatural, sementara “guai” (怪) berarti “aneh”, yang mengklasifikasikan yaoguai sebagai monster[2]. Berbeda dengan konsep iblis dalam tradisi Barat yang sarat dengan implikasi moral dan teologis, yaoguai sebenarnya hanyalah kategori makhluk dengan kemampuan supernatural (atau preternatural) dan mungkin amoral daripada tidak bermoral, atau kaprisiusnya daripada jahat secara inheren[1].
Dalam folklor, karakter khas yaoguai adalah keanehan atau kesucian, sifat menggoda, dan hubungan dengan perilaku yang tidak menentu, kebingungan, dan dengan bencana atau kemalangan[1]. Di zaman yang lebih takhayul, kebingungan dan kebingungan, penyakit aneh dan tidak dapat dijelaskan, penglihatan menakutkan dan suara aneh, serta kasus pembunuhan misterius dan orang hilang dikaitkan dengan mereka, sehingga muncul pepatah rakyat: “出反常必有妖”, yang berarti “kejadian luar biasa disebabkan oleh yao [guai]”[1].
Asal Usul dan Sumber Historis
Konsep siluman dalam mitologi Tiongkok memiliki sejarah yang sangat panjang, dengan catatan tertua yang dapat ditelusuri hingga abad ke-12 SM[3]. Salah satu sumber paling awal dan berpengaruh yang mendokumentasikan makhluk mitologis Tiongkok adalah “Shan Hai Jing” (山海經) atau “Klasik Pegunungan dan Samudra”.
Shan Hai Jing adalah catatan mengenai kekayaan alam, geografi, mitologi, ritual, dan pengobatan Tiongkok kuno sebelum Dinasti Qin (221-206 SM). Diperkirakan bagian geografi buku ini diselesaikan pada awal atau akhir Zaman Negara-negara Berperang (475-221 SM), sementara bagian mitologi dan legenda diselesaikan pada Dinasti Qin[4]. Buku ini terdiri dari 18 bab yang mencakup pegunungan (Shan Jing), kelautan (Hai Jing), dan daratan (Dahuang Jing)[4].
Sebagai sumber informasi yang kaya tentang sejarah, geografi, astronomi, iklim, agama, adat istiadat, hewan, dan tumbuhan Tiongkok kuno, Shan Hai Jing mendokumentasikan sekitar 40 negara bagian, 550 gunung, 300 jalur air, lebih dari 100 tokoh sejarah, dan 400 monster mitos[5]. Buku ini telah menginspirasi sastrawan dan seniman sepanjang sejarah dan menjadi sumber inspirasi budaya pop, pertukaran lintas budaya, dan studi komparatif di zaman modern[5].
Pada masa Dinasti Han (206 SM-220 M), konsep makhluk yang dapat berubah bentuk berkembang lebih lanjut. Ide bahwa makhluk non-manusia berusia panjang dapat mengambil bentuk manusia diperkenalkan dalam “Lunheng” karya Wang Chong (27-91 M)[6]. Seiring perkembangan budaya Tiongkok, kemampuan mengubah bentuk siluman rubah menjadi semakin canggih[6].
Jenis-jenis Siluman dalam Mitologi Tiongkok
Huli Jing (Siluman Rubah)
Salah satu siluman paling terkenal dalam mitologi Tiongkok adalah Huli jing (狐狸精) atau siluman rubah. Dalam mitologi Tiongkok, siluman rubah sejenis dengan peri Eropa atau kitsune Jepang dan dapat menjadi roh baik maupun jahat[7].
Siluman rubah yang sering dijumpai dalam kisah dan legenda biasanya adalah wanita muda dan cantik. Mereka memiliki kemampuan untuk berubah bentuk, menciptakan ilusi, dan mengendalikan pikiran manusia[1]. Salah satu siluman rubah yang paling jahat dalam mitologi Tiongkok adalah Daji (妲己), yang dikisahkan dalam novel Dinasti Ming “Fengshen Yanyi”. Ia adalah putri seorang jenderal yang cantik yang tubuhnya dirasuki oleh siluman rubah berekor sembilan, yang kemudian bersama suaminya, Zhou Xin, berlaku kejam dan menciptakan berbagai alat penyiksaan[7].
Siluman rubah juga dapat bersifat baik, seperti dalam beberapa kisah dalam “Liaozhai Zhiyi” karya Pu Songling, yang menceritakan kisah cinta antara siluman rubah yang berwujud wanita cantik dengan seorang pemuda manusia[7].
Rubah berekor sembilan (九尾狐; jiuweihu) adalah varian siluman rubah yang paling terkenal. Mereka pertama kali muncul dalam “Shanhaijing”, yang menyatakan: “Negeri Bukit Biru terletak di utara di mana penduduknya mengonsumsi Lima Bijian, mengenakan sutra dan menyembah rubah yang memiliki empat kaki dan sembilan ekor”[8]. Guo Pu, seorang sarjana Dinasti Jin Timur, mengomentari bahwa “rubah berekor sembilan adalah pertanda baik yang muncul pada masa damai”[8].
Siluman Ular
Bai Suzhen (白素貞), juga dikenal sebagai Lady Bai (白娘子) atau Madam White Snake (白蛇娘娘), adalah seekor ular putih berusia seribu tahun dan karakter utama dari “Legend of the White Snake”, salah satu dari “empat dongeng besar” Tiongkok[9].
Setelah seribu tahun latihan disiplin dalam Taoisme di Gunung Emei, Bai Suzhen diubah menjadi wanita oleh esensi Raja Naga Laut Tiongkok Timur. Meskipun berasal dari makhluk bukan manusia, Bai berhati baik dan menolak menyalahgunakan kekuatannya untuk kejahatan[9]. Ia jatuh cinta dan menikah dengan seorang pemuda bernama Xu Xian, namun seorang biksu Buddha, Abbot Fahai, mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya dan berusaha memisahkan mereka[9].
Bai Suzhen dianggap sebagai simbol cinta sejati dan kebaikan hati oleh masyarakat Tiongkok[9]. Dalam beberapa versi legenda, Bai Suzhen pada akhirnya menjadi dewi dan para pemujanya menyebutnya sebagai Madam White Snake[9].
Sun Wukong (Siluman Monyet)
Sun Wukong (孫悟空), lebih dikenal sebagai Raja Monyet, adalah tokoh terkenal dalam novel klasik abad ke-16 “Perjalanan ke Barat”[10]. Ia adalah monyet yang lahir dari batu di Gunung Huaguo yang memperoleh kekuatan sihir dengan belajar dari Master Bodhi. Setelah memberontak melawan Surga, ia ditaklukkan dan dipenjarakan di bawah gunung oleh Buddha selama 500 tahun[10].
Setelah dibebaskan, Sun Wukong menjadi murid biksu Tang Sanzang dan melindunginya dalam perjalanan untuk mendapatkan sutra Buddha dari India (Tianzhu) dan membawanya kembali ke Kekaisaran Tang[10]. Dalam perjalanan mereka, Sun Wukong harus melawan berbagai yaoguai yang mencoba mengganggu misi mereka[10].
Sun Wukong digambarkan sebagai sosok yang kuat, cerdik, dan memiliki kemampuan supernatural seperti transformasi dan perjalanan dengan awan. Ia juga memiliki senjata magis bernama Ruyi Jingu Bang yang dapat berubah ukuran sesuai keinginannya[10].
Siluman Harimau
Siluman harimau, juga dikenal sebagai manusia harimau, harimau jadian, atau inyik, adalah siluman yang memiliki karakteristik harimau pada seorang manusia[11]. Pada awalnya, ilmu siluman harimau merupakan ilmu sihir yang bertujuan untuk mempertahankan diri dari serangan harimau nyata[11].
Ilmu siluman harimau berasal dari Sumatra dan sering dimiliki oleh raja-raja zaman dahulu di Sumatra, terutama dari suku Minang dan suku Rejang. Di Jawa Barat, suku Sunda juga memiliki kepercayaan bahwa Prabu Siliwangi memiliki ilmu siluman harimau[11].
Ilmu ini bisa didapatkan secara alami atau dengan cara memberi bubuk tulang, gigi, atau darah harimau untuk ditelan bayi saat baru dilahirkan[11]. Bagi penuntut ilmu ini, mereka perlu membuang ilmu atau mewariskannya kepada keturunannya sebelum meninggal[11].
Representasi Siluman dalam Literatur Klasik Tiongkok
Siluman menjadi elemen penting dalam berbagai karya sastra klasik Tiongkok, yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai media untuk mengekspresikan kritik sosial dan nilai-nilai moral.
Kisah Aneh Liaozhai
“Kisah Aneh Liaozhai” (聊齋誌異) adalah karya sastra terkenal dari awal zaman Dinasti Qing, ditulis oleh Pu Songling. Karya ini berisi 491 cerita pendek yang ditulis selama lebih dari 30 tahun[12]. Cerita-cerita ini menampilkan karakter hantu, siluman, iblis, dan interaksi mereka dengan manusia[12].
Pu Songling menggunakan cerita-cerita ini sebagai cerminan sosial masyarakat Tiongkok pada zaman Qing di abad ke-17, serta menyampaikan sindiran dan kritik halus terhadap pemerintahan yang korup, sistem seleksi pejabat yang tidak adil, dan masalah kebebasan individu dalam memilih pasangan hidup[12].
Dalam dunia “Kisah Aneh Liaozhai”, makhluk halus, dewa, bahkan benda mati dapat berbicara dan berinteraksi seperti manusia serta berubah bentuk sesuka hati. Imaginasi ini digunakan Pu Songling untuk menyalurkan pemikiran, ide, dan gaya hidup ideal yang sempurna menurutnya[12].
Perjalanan ke Barat
“Perjalanan ke Barat” (西遊記) karya Wu Cheng’en, yang diterbitkan pada 1590-an, adalah novel klasik yang menceritakan perjalanan biksu Xuanzang ke India untuk memperoleh kitab suci Buddha, di mana ia dikawal oleh tiga murid yang merupakan siluman: Sun Wukong (siluman monyet), Zhu Bajie (siluman babi), dan Sha Wujing (siluman pasir)[3][10].
Dalam perjalanan mereka, mereka menghadapi berbagai yaoguai dan tantangan supernatural. Novel ini tidak hanya menghibur tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis dan moral Buddhis dan Taois[10].
Pengaruh dan Transformasi dalam Budaya Modern
Konsep siluman dari mitologi Tiongkok telah menyebar ke berbagai budaya Asia lainnya dan terus bertransformasi dalam budaya modern.
Penyebaran Regional
Motif siluman rubah dan rubah berekor sembilan dari budaya Tiongkok akhirnya ditransmisikan dan diperkenalkan ke budaya Jepang, Korea, dan Vietnam[8]. Misalnya, “yokai” Jepang adalah transliterasi atau pengucapan Jepang dari istilah Tiongkok “yaoguai” dan melibatkan makhluk aneh yang serupa, dengan kedua bahasa menggunakan karakter Tiongkok yang sama untuk menggambarkannya[1].
Adaptasi Media Modern
Dalam budaya kontemporer, siluman dan yaoguai dari mitologi Tiongkok telah diadaptasi ke berbagai media, termasuk film, serial televisi, dan video game. Misalnya, game “Black Myth: Wukong” didasarkan pada novel “Perjalanan ke Barat” dan dipenuhi dengan mitologi Timur, dengan yaoguai sebagai inti dari dunia mitologisnya[2].
Siluman harimau juga telah menginspirasi beberapa sinetron Indonesia, seperti “7 Manusia Harimau”, “7 Manusia Harimau New Generation”, dan “Manusia Harimau”[11].
Kesimpulan
Siluman dalam sejarah dan mitologi Tiongkok bukan hanya sekadar makhluk fantastis dalam cerita rakyat, tetapi juga merupakan cerminan dari pandangan dunia, nilai moral, dan filosofi masyarakat Tiongkok sepanjang ribuan tahun sejarahnya. Dari Shan Hai Jing hingga adaptasi kontemporer, konsep siluman terus berevolusi dan beradaptasi, namun tetap mempertahankan esensi dasarnya yang menggabungkan keanehan, transformasi, dan ambiguitas moral.
Keberadaan siluman dalam budaya Tiongkok juga mencerminkan hubungan kompleks antara manusia dan alam, serta antara yang alami dan supernatural. Melalui kisah-kisah tentang siluman, masyarakat Tiongkok mengeksplorasi pertanyaan tentang identitas, moralitas, dan hubungan antar makhluk hidup.
Meskipun berasal dari zaman kuno, konsep siluman tetap relevan dalam budaya modern global, menunjukkan daya tahan dan fleksibilitas narasi tradisional ini untuk beradaptasi dengan konteks baru sambil mempertahankan kekuatan simbolis dan kulturalnya.
Daftar Referensi
- https://en.wikipedia.org/wiki/Yaoguai
- https://gamerant.com/black-myth-wukong-yaoguai-mythology-enemies-bosses-designs/
- https://ms.wikipedia.org/wiki/Mitologi_Cina
- https://id.wikipedia.org/wiki/Shan_Hai_Jing
- https://www.chinadailyhk.com/hk/article/289103
- https://www.tionghoa.info/legenda-siluman-rubah-dalam-literatur-dan-mitologi-tionghoa/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Huli_jing
- https://en.wikipedia.org/wiki/Fox_spirit
- https://en.wikipedia.org/wiki/Bai_Suzhen
- https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Journey_to_the_West_characters
- https://id.wikipedia.org/wiki/Siluman_harimau
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kisah_Aneh_Liaozhai

