kau terbaring seperti buku
yang baru setengah terbaca.
di kamar ini, waktu menitik
dari selang infus—
setiap tetes: biji matahari
yang kutabur di telapak doa.
kursi di sampingmu
mulai mengingat bentuk tubuhmu.
nanti, ketika kau duduk kembali,
akan kusebut itu keajaiban
yang tak perlu dijelaskan.
di luar jendela, hujan
menjahit bumi dengan benang perak.
kudengar bisiknya:
“luka adalah tempat
cahaya masuk.”
lilin kecil di sudut kamar
menari bersama bayang-bayang.
mereka bergerak seperti tangan ibumu
yang masih berlatih melepaskan—
tapi tidak sekarang,
belum sekarang.
katakan, sahabat,
apakah sakit itu hanya kata lain
untuk menunggu kuat?
aku akan tetap di sini,
menjadi tanah tempat kakimu
ingin berpijak lagi.
pagi datang diam-diam.
kubuka jendela,
angin membawa kabar:
“kesabaran adalah daun
yang tumbuh pelan-pelan
di pohon yang hampir patah.”

